Minggu, 02 Juni 2013

Pembagian Hadits

PENDAHULUAN
Pembukuan hadits baru bisa dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir 100 tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang beraedar di kalangan kaum muslimin menjadi debatable, meskipun mereka telahj meneliti dengan seksama.
Bekal pengetahuan ilmu hadits menjadi sangat bermanfaat bagi para peneliti dan pengkaji hadits. Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadits-hadits Nabi, seseorang tidak bisa mengabaikan ilmu hadits ini. Dengan ilmu ini, para ulama dahulu dapat mengetahui kualitas hadits, apakah ia shahih, hasan, atau dhoif. Dengan ilmu ini dapat dibedakan jenis dan bentuk hadits, apakah mutawatir atau ahad, mansyur, aziz, atau gharib, qudsi, atau maqthu’, dan sebagainya. Dengan ilmu ini pula ia dapat mengetahui apakah hadits ini benar-benar berasal dari Nabi atau bukan (palsu, maudhu’). 
 
Rumusan Masalah
1.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya?
2.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?

PEMBAGIAN HADITS

A.     HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA

1.      Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya[1]. Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut:
Menurut Nur Ad-Din mendefinisikan
  “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra”.
Ø  Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
b.      Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya
c.       Berdasarkan tanggapan panca indra
Ø  Pembagian Hadits Mutawatir
a.       Mutawatir Lafzhi
b.      Mutawatir Ma’nawi
c.       Mutawatir Amali
Ø  Hadits Mutawatir mempunyai nilai  ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir tersebut, hingga membawa keyakinan yang qath’I (pazti).

2.      Hadits Ahad
Al-ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang[2].
Sedangkan hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut:

 “khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir , baik perawi itu satu, dua,tiga,empat,lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan “tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur”.

Ø  Pembagian Hadits Ahad
a.       Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu’: sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pila setelah mereka”.

b.      Hadits Ghair Masyhur
Hadits ghair masyhur ini oleh ulama ahli hadits digolongkan menjadi aziz dan gharib.
1.      Hadits Aziz
Aziz bisa berasal dari ‘azza-ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya(kuat). Secara istilah yaitu hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad”.
2.      Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya).

B.     HADITS DI TINJAU DARI KUALITASNYA

1.Hadits Maqbul
            Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz(yang diambil) dan  mushaddaq(yang di benarkan atau di terima). Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang telah sempurna padanya,syarat-syarat penerimaan[3].
            Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.
            Dalam pada itu, tidak semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadits maqbul ada yang ma’mulun bih  yakni hadits yang bias diamalkan dan ada yang ghair ma’mulin bih yakni hadits yang tidak bisa diamalkan. Yang ma;mulun bih adalah hadis muhkam, yakni hadis yang telah memberikan pengertian jelas; mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung pengertian bertentangan; Rajih, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis nasikh, yakni hadis yang menasakh terhadap hadis, yang datang terlebih dahulu. Sedangkan yang ghair ma’mulin bih adalah hadis marjuh, yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat, mansukh, yakni hadis yang telah dinasakh(dihapus), dan hadis mutawaquf fih, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadis  boleh dengan lainnya yang belum diselesaikan.
            Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan di atas, maka hadis maqbul digolongkan menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hasan .

2. Hadits Mardud
            Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedangkan mardud menurut istilah ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.
            Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu’ . dan pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih, hasan, dha’if.
            Menurut Ibnu Taymiyah, ulama yang membagi hadis menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa Al-Tirmidzi, karena ia banyak meriwayatkan hadis dan memberikan keterangan periwayatan dengan kata, misalnya hadis “shahih hasan gharib”.

A.     Hadits shahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata saqim[4]. Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna sehat, pasti”. Pengertian hadis sahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-mutaqaddimin(sampai abad III). Mereka pada umumnya hanya memberika penjelasan mengenai criteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah”Tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
1.      Syarat-syarat hadits sahih
·         Sanadnya bersambung(ittishal al-sanad)
·         Perawinya adil
·         Perawinya dhabit
·         Tidak syadz (janggal)
·         Tidak ber-illat (ghair mu’allal)

2.      Macam-macam hadits sahih
Para ulama membagi hadis sahih ini di bagi menjadi dua macam,yaitu:
a.       Shahih li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sebuah hadis maqbul (a’la sifat al-qubul)
       Hal itu bias terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabit—annya, ia dinilai kurang. Hadis ini menjadi sahih karena ada hadis lainyang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui  jalur lain yang setingkat  atau malah lebih shahih.

B.     Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang di senangi dan dicondongi oleh nafsu[5]. sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis sahih dan hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut sejarah ulama yang  mula-mula memunculkan istilah”Hasan” bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi.
1.      Syarat-syarat hadits hasan
·          Sanadnya bersambung
·         Perawinya adil
·         Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitan nya dibawah perawi hadis sahih
·         Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
·         Tidak ber’illat

2.      Macam-macam  hadits hasan
Para ulama ahli hadis membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatih
Pengertian hadis hasan li dzatih,sebagaimana pengertian diatas,yaitu hadis hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna ,dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
Hadis hasan li dzatihi ini bias baik derajatnya menjadi hadis shahih (li ghairihi) bila ada hadis lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain. Sebagai contohnya adalah hadis al-tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi salamah dari Abi Hurairah.
b.      Hasan li ghairihi
           Secara singkat, hasan li ghairihi ini terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui keahlianya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk ibnu Al-shalah.
           Jadi system periwayatnnya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa(mitslahu) maupun mirip(nahwahu).
           Jadi hadis dha;if yang bias naik kedudukannya menjadi hadis hasan ini, hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah. Sementara hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis mudhu’, hadis munkar dan hadis matruk, betapapun adanya shyahid dan muttabi’ kedudukannya tetap sebagai hadis dha’if, tidak bias berubah menjadi hadis hasan.

  
PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami susun, semoga dapat membawa manfaat bagi pemakalah khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. 

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978)
Suparta,Munzir.2002.Ilmu Hadits.Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1989)



[1] Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978),hlm.321.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,2002,hlm.110.
[3] Munzir Suparta,op.cit,hlm.124
[4] Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1989).hlm 31.
[5] Ibid,hlm.141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar