Minggu, 02 Juni 2013

Perkembangan Pendidikan Bahasa Arab



1.      Pendidikan Bahasa Arab Didalam dan di luar Motif Agama
Kekuatan bahasa Arab asampai saat ini telah “ berekplorasi” keberbagai ranah yang menjadikannya semakin diperhitugkan oleh masyarakat dunia. Disamping eksistensinya sebagai media pesan Ilahi. Bangsa Indonesia yang tersebar berbagai kepulauan nusantara sebagaian besar memeluk agama Islam.[1]
Perlu diterangkan disini bahwa dalam sejarah perkembangan agama samawi atau agama wahyu tidak ada kitab suci yang masih asli bahasanya kecuali al-Qur’an. Dengan perkataan lain bahwa didunia ini tiada al-Qur’an dengan bahasa lain kecuali bahasa Arab. Atas dasar ini, mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci kaum muslimin di dunia merupakan kebutuhan utama. Disamping itu mempelajari bahasa Arab berarti memperdalam agama Islam dari sumbernya yang asli.
Agama Islam masuk di Indonesia dengan perantara pedagang-pedagang bangsa arab atau dengan orang-orang Indonesia itu sendiri, rupanya agama Islam ini mempunyai daya tarik yang sangat kuat karena berdasarkan sama rata dan tiada mengenal beda antara seseorang. Beberapa banyak rumah perguruan atau pondok pesantren lengkap dengan masjid dan asrama tempat para murid, para santri tinggal sehingga menyenangkan mereka dengan sunggh– sungguh dan tekun mempelajari ilmu pengatahuan atau pendidikan bahasa Arab dengan secara teori dan praktik[2].
Dalam sejarah turki pada zaman Mustafa. Kamal sebaga kepala Negara, pernah ada usaha-usaha untuk menghilangkan pengaruh dan kegunaan bahasa Arab dalam agama, sehingga seluruh upacara ritual agama Islam harus diucapkan dengan bahasa nasional mereka (bahasa Turki) untuk kepentingan itu, pada tahun 1932 bulan Juli Mustafa kamal menginstruksikan untuk mendirikan lembaga Bahsa Turki, dengan tujuan untuk memurnikan bahasa Turki dari pengaruh-pengaruh bahasa lain termasuk bahasa Arab. Walaupun bahasa Turki telah resmi menjadi bahasa nasional Turki, namun semua usaha untuk merubah bahasa arab menjadi bahasa Turki, tampaknya tidak mendapat tempat di hati rakyat Turki yang telah lama menggunakan bahasa arab dalam kegiatan ritual peribadatan. Setidaknya di masjid-masjid, bahasa Arab tetap eksis dan menjadi bahasa keagamaan. Dengan demikian bahasa Arab adalah bahasa yang memang sudah digariskan oleh Allah SWT untuk menjadi bahasa ritual peribadatan sebagai alat pemersatu umat Islam di seluruh dunia.

2.      Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan bahasa arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Secara teoritas paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut :
a.      Orientasi religius, yaitu belajar bahasa arab untuk memahami dan memahamkan ajaran Islam (faham al-maqru’) orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengan dan membaca) dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis)
b.      Orientasi akademis, yaitu belajar bahasa arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab. Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa arab sebagai displin ilmu atau obyek studi yang dikuasai secara akademik, orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab.
c.       Orientasi profesional / praktis dan prakmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau prakmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (Muhadatsah)  dalam bahasa Arab.
d.     Orientasi ideologis dan ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme.[3]
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang Dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk pendidikan bahasa arab, bahwa lulusan pendidikan bahasa Arab kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadu, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan dengan lembaga alumni lain.
Selain itu studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disorientasi, tidak jelas arah dan tujuannya. Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan setengah-setengah antara orientasi kemahiran dan orientasi keilmuan.[4] Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa arab di madrasah dan lembaga pendidikan lainnya, selama ini juga tidak menentu. Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pendidikan bahasa arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta kecenderungan sebagai Pelajar atau Mahasiswa bahasa Arab untuk mengambil jalan yang serba instant “tanpa menulis proses ketekunan dan kesungguhan. Sumber-sumber literatur kebahasaaraban dilembaga pendidikan kita juga masih relatif kurang jika tidak dikatakan terbatas.       

3.      Tujuan Berkembangnya Pendidikan Bahasa Arab
Kamus bhasa arab di Indonesia, jika melihat gejala penggunaannya di masyarakat, bias jadi sebagai bahasa asing. Bagi lingkungan atau masyarakat umumnya bahasa arab adalah bahasa asing, karena bukan merupakan bahasa pergaulan sehari-hari. Akan tetapi jika kita melihat lingkungan atau lembaga pendidikan khusus seperti Pondok Pesantren Moden Gontor Ponorogo, Al Amanat Bandung, dan lain-lain, bahasa Arab biasa digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari bahkan digunakan sebagai pengantar pelajaran dan bukan sebagai materi pelajaran.[5] Untuk itu ada beerapa poin tujuan pendidikan bahasa arab, adalah :
a.      Mengembangkan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik lisan maupun tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa yakni : menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
b.      Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam mengkaji sumber-sumner ajaran Islam.
c.       Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya. Dengan demikian peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.[6]
Adapuntujuan umum pendidikan bahasa Arab dianataranya :
a)      Untuk membina kebudayaan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ada kemungkian bahasa Arab merupakan bahasa kedua setelah bahasa nasional yang terbanyak diguanakan di Indonesia.
b)     Untuk membangun Indonesia yang menunjukkan bahwa pembangunan indfonesia bersifat pambangunan materil dan spiritual, maka pengisiannya dan pemantapannya berdasarkan nilai-nilai rohaniah dan agama Islam yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia beroleh peranan penting.
c)      Agar para siswa dapat memahami Al Qur’an, Al Hadits dan kitab-kitab ataupun buyu-buku yang lainnya yang berbahasa Arab, Agama dan kebudayaan Islam.
d)     Untuk digunakan sebagai alat komunikasi, sesuai dengan perkembangan bahasa Arab sebagai bahasa agama dengan penyesuaian tertentu sebagai alat komunikasi, maka pemahaman bahasa arab sebagfai bahasa yang hidup dan  berkembang di kalangan umat islam.[7]
Dari pernyataan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa secara formal bahasa Arab merupakan bahasa asing. Karena sebagai bahasa asing, sistem pembelajaran adalah pembelajaran bahasa asing mulai dari tujuan, materi sampai kepada metode. Dengan demikian jika ada kalangan tertentu Indonesia yang menganggap bahasa Arab bukanlah bahasa asing, maka itu tidak resmi karena di luar patokan yang ditetapkan oleh pemerintah Idonesia.

4.      Fungsi-Fungsi Bahasa
Dalam atataran kiprah manusiawi bahasa memiliki fungsi yang tak ternilai. Segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari fungsi-fumgsi bahasa. Pada awalnya bahsa memang tidak begitu berperan dalam membangun kehidupan karena masih dianggap sebagi pelengkap hidup. Namun sejalan dengan perkembanga kemajuan peradaban mansia, ia menjadi salah satu penentu arah kehidupan. Ia dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari hal-hal yang bersifat sederhana dan pribadi sampai kepada hal-hal yang kompleks. Beberapa fungsi bahasa dalam kehidupan manusia anatara lain :
a)      Bahasa adalah alat komunikasi bagi seseorang dengan orang lain, dengan berkomunikasi seseorang dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhannya dan mencapai maksud-maksud serta kepentingan-kepentingannya.
b)     Bahasa adalah alat seseorang untuk menyatakan atau mengunkapkan perasaan, harapan, keinginan dan fikirannya. Sebaliknya bahasa juga merupakan alat untuk mengeti dan menghayati perasaan, harapan, keinginan dan fikiran orang lain.
c)      Bahasa adalah alat untuk usaha meyakinkan orang lain atau mempengaruhi sekelompok masyarakat baik dalam forum diskusi pertukaran fikiran, rapat umum maupun dalam tulisan-tulisan.
d)     Bahasa adalah alat berfikir. Sebuah gagasan atau ide timbul dalam fikiran belumlah merupakan bahasa karena belum mempunyai bentuk tertentu, tetapi ketika bahasa tersebut telah dituangkandan diatur urutan unsur-unsurnya dalam bentuk kata atau kalimat yang diucapkan dengan lisan atau yang dicatat dengan simbol-simbol, gagasan itu berubah menjadi bahasa karena ia telah mempunyai bentuk yang berwujud.
e)      Bahasa salah satusimbol agama. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa sangat erat kaitannya dngan Agama. Sebab bagaimanapun pesan-pesan tuhan harus disampaikan melalu bahasa yang dapat dipahami oleh manusia yang melakukan agama itu.
f)       Bahasa pendukung utama pengetahuan. Tidak ada satu pengetahuanpun yang disampaikan dengan efisien selain lewat media bahasa. Sebagaian besar bidang pengajaran menjadikan bahasa sebagai alat terpenting dan mutlak diperlukan.
g)     Bahasa alat pemersatu bangsa yang dibangun oleh kelompok masyarakat yang berbeda, baikdalam ras-etnis, agama dan social ekonomi hanya dapat bersatu dan kompak jika di ikat dan dijalin kestuan bahasa. Dalam hal ini muncullah apa yang disebut dengan bahasa iternasional. Suatu bahasa yang bisa digunakan oleh masyarakat dunia dalam membangun masyarakat makro. Misalnya Bahasa Inggris, Bahsa Arab, Bahasa Jerman, dan sebagainya.
h)     Bahasa alat politik. Salah satu kecenderungan umat manusia adalah mencari kekuasaan atas manusia lain.
i)       Bahasa alat untuk memenuhi kebuituhan dasar. Semua manusia memiliki kebutuhan dasar hidup baik sebagai individu maupun sosial. Untuk memenuhinya tidak bisa bekerja sendiri, tetapi memerlukan bantuan manusia lain. Pada saat yang sama ia perlu menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengutarakan maksudnya.
j)        Bahasa alat untuk berekspresi. Bahasa yang digunakan orang untuk menyatakan atau mengekspresikan perasaan, emosi, harapa, keinginan, cita-cita, dan fikiran seseorang. Sebaliknya, bahasa juga menjadi alat untuk mengerti dan menghayati perasaan dan harapan.[8]      
Itulah fungsi-fungsi dari bahasa, situasi kebahasaan di Indonesia menunjukkan bahwa disamping bahasa nasioal dan bahasa daerah, terdapat pula pemakaian bahasa asing. Dengan adanya fungsi-fungsi bahasa tersebut dspat disimpulkan bahwa bahasa apapun yang kita gunakan, menjadi alat komunikasi antara sesama, suatu media penghubung antar kelompok, dan bahasa juga menjadi alat pendukung utama pengetahuan.
Bahasa Indonesia dan bahasa Arab bukanlah bahasa yag tergolong dalam satu rumpun, dan bahasa-bahasa tersebut lebih menampakkan perbedaan struktur kebahasaan anatara bahasa yang pertama dan kedua, makin mudfah mempalajari bahasa tersebut. Sebaliknya, makin besar perbedaan struktur anatara bahasa pertama dan bahasa kedua, makin sulit mempelajari bahasa tersebut.







[1] Chitb, Ahmad, dkk, 1976, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Untuk Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, Departemen Agama RI, Hal 23
[2] Alwasilah, A. Chaedar. 2000, Politik Bahasa dan Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal 2003
[3] Tarigan, Henri Guntur, 2009, Metodologi Pengajaran Bahasa, Bandung Angkasa, hal 115
[4] Umam, Chatibul, 1974, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab, Jakarta, Departemen Agama RI, hal 94
[5] Ibid, hal 101
[6] Mukhtar, Abdullatif, Masalah Metode Dan Teknik Pengajaran Bahasa Arab, IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung, 1973, hal 45

[7] Mulyanto, Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal 118
[8] Al wasilah, Chaedar, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung : Remaja Rosdakarya, hal 22

Pembagian Hadits

PENDAHULUAN
Pembukuan hadits baru bisa dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir 100 tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang beraedar di kalangan kaum muslimin menjadi debatable, meskipun mereka telahj meneliti dengan seksama.
Bekal pengetahuan ilmu hadits menjadi sangat bermanfaat bagi para peneliti dan pengkaji hadits. Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadits-hadits Nabi, seseorang tidak bisa mengabaikan ilmu hadits ini. Dengan ilmu ini, para ulama dahulu dapat mengetahui kualitas hadits, apakah ia shahih, hasan, atau dhoif. Dengan ilmu ini dapat dibedakan jenis dan bentuk hadits, apakah mutawatir atau ahad, mansyur, aziz, atau gharib, qudsi, atau maqthu’, dan sebagainya. Dengan ilmu ini pula ia dapat mengetahui apakah hadits ini benar-benar berasal dari Nabi atau bukan (palsu, maudhu’). 
 
Rumusan Masalah
1.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya?
2.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?

PEMBAGIAN HADITS

A.     HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA

1.      Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya[1]. Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut:
Menurut Nur Ad-Din mendefinisikan
  “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra”.
Ø  Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
b.      Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya
c.       Berdasarkan tanggapan panca indra
Ø  Pembagian Hadits Mutawatir
a.       Mutawatir Lafzhi
b.      Mutawatir Ma’nawi
c.       Mutawatir Amali
Ø  Hadits Mutawatir mempunyai nilai  ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir tersebut, hingga membawa keyakinan yang qath’I (pazti).

2.      Hadits Ahad
Al-ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang[2].
Sedangkan hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut:

 “khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir , baik perawi itu satu, dua,tiga,empat,lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan “tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur”.

Ø  Pembagian Hadits Ahad
a.       Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu’: sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pila setelah mereka”.

b.      Hadits Ghair Masyhur
Hadits ghair masyhur ini oleh ulama ahli hadits digolongkan menjadi aziz dan gharib.
1.      Hadits Aziz
Aziz bisa berasal dari ‘azza-ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya(kuat). Secara istilah yaitu hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad”.
2.      Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya).

B.     HADITS DI TINJAU DARI KUALITASNYA

1.Hadits Maqbul
            Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz(yang diambil) dan  mushaddaq(yang di benarkan atau di terima). Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang telah sempurna padanya,syarat-syarat penerimaan[3].
            Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.
            Dalam pada itu, tidak semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata lain, hadits maqbul ada yang ma’mulun bih  yakni hadits yang bias diamalkan dan ada yang ghair ma’mulin bih yakni hadits yang tidak bisa diamalkan. Yang ma;mulun bih adalah hadis muhkam, yakni hadis yang telah memberikan pengertian jelas; mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung pengertian bertentangan; Rajih, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis nasikh, yakni hadis yang menasakh terhadap hadis, yang datang terlebih dahulu. Sedangkan yang ghair ma’mulin bih adalah hadis marjuh, yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat, mansukh, yakni hadis yang telah dinasakh(dihapus), dan hadis mutawaquf fih, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadis  boleh dengan lainnya yang belum diselesaikan.
            Dilihat dari ketentuan-ketentuan hadis maqbul seperti diuraikan di atas, maka hadis maqbul digolongkan menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hasan .

2. Hadits Mardud
            Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedangkan mardud menurut istilah ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.
            Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu’ . dan pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih, hasan, dha’if.
            Menurut Ibnu Taymiyah, ulama yang membagi hadis menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa Al-Tirmidzi, karena ia banyak meriwayatkan hadis dan memberikan keterangan periwayatan dengan kata, misalnya hadis “shahih hasan gharib”.

A.     Hadits shahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata saqim[4]. Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah, benar, sempurna sehat, pasti”. Pengertian hadis sahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-mutaqaddimin(sampai abad III). Mereka pada umumnya hanya memberika penjelasan mengenai criteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah”Tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
1.      Syarat-syarat hadits sahih
·         Sanadnya bersambung(ittishal al-sanad)
·         Perawinya adil
·         Perawinya dhabit
·         Tidak syadz (janggal)
·         Tidak ber-illat (ghair mu’allal)

2.      Macam-macam hadits sahih
Para ulama membagi hadis sahih ini di bagi menjadi dua macam,yaitu:
a.       Shahih li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sebuah hadis maqbul (a’la sifat al-qubul)
       Hal itu bias terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabit—annya, ia dinilai kurang. Hadis ini menjadi sahih karena ada hadis lainyang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui  jalur lain yang setingkat  atau malah lebih shahih.

B.     Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang di senangi dan dicondongi oleh nafsu[5]. sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis sahih dan hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut sejarah ulama yang  mula-mula memunculkan istilah”Hasan” bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi.
1.      Syarat-syarat hadits hasan
·          Sanadnya bersambung
·         Perawinya adil
·         Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitan nya dibawah perawi hadis sahih
·         Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
·         Tidak ber’illat

2.      Macam-macam  hadits hasan
Para ulama ahli hadis membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatih
Pengertian hadis hasan li dzatih,sebagaimana pengertian diatas,yaitu hadis hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna ,dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
Hadis hasan li dzatihi ini bias baik derajatnya menjadi hadis shahih (li ghairihi) bila ada hadis lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain. Sebagai contohnya adalah hadis al-tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi salamah dari Abi Hurairah.
b.      Hasan li ghairihi
           Secara singkat, hasan li ghairihi ini terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui keahlianya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk ibnu Al-shalah.
           Jadi system periwayatnnya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa(mitslahu) maupun mirip(nahwahu).
           Jadi hadis dha;if yang bias naik kedudukannya menjadi hadis hasan ini, hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah. Sementara hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis mudhu’, hadis munkar dan hadis matruk, betapapun adanya shyahid dan muttabi’ kedudukannya tetap sebagai hadis dha’if, tidak bias berubah menjadi hadis hasan.

  
PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami susun, semoga dapat membawa manfaat bagi pemakalah khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. 

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978)
Suparta,Munzir.2002.Ilmu Hadits.Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1989)



[1] Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978),hlm.321.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,2002,hlm.110.
[3] Munzir Suparta,op.cit,hlm.124
[4] Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1989).hlm 31.
[5] Ibid,hlm.141.