PENDAHULUAN
Pembukuan hadits baru bisa dilakukan
dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir 100 tahun) setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan,
maka keabsahan hadits-hadits yang beraedar di kalangan kaum muslimin menjadi
debatable, meskipun mereka telahj meneliti dengan seksama.
Bekal pengetahuan ilmu hadits
menjadi sangat bermanfaat bagi para peneliti dan pengkaji hadits. Karena untuk
mempelajari dan mengkaji hadits-hadits Nabi, seseorang tidak bisa
mengabaikan ilmu hadits
ini. Dengan ilmu ini, para ulama dahulu dapat mengetahui kualitas hadits,
apakah ia shahih, hasan, atau dhoif. Dengan ilmu ini dapat dibedakan jenis dan
bentuk hadits, apakah mutawatir atau ahad, mansyur, aziz, atau gharib, qudsi,
atau maqthu’, dan sebagainya. Dengan ilmu ini pula ia dapat mengetahui apakah
hadits ini benar-benar berasal dari Nabi atau bukan (palsu, maudhu’).
Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi
kualitasnya?
2. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi
kuantitasnya?
PEMBAGIAN HADITS
A.
HADITS DITINJAU
DARI SEGI KUANTITASNYA
1.
Hadits
Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti
mutatabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu
dengan yang lain tidak ada jaraknya[1].
Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa
definisi, antara lain sebagai berikut:
Menurut Nur Ad-Din mendefinisikan
“hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal
sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra”.
Ø Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli
ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir, bila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi
b.
Adanya
keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya
c.
Berdasarkan
tanggapan panca indra
Ø Pembagian Hadits Mutawatir
a.
Mutawatir Lafzhi
b.
Mutawatir
Ma’nawi
c.
Mutawatir Amali
Ø Hadits Mutawatir mempunyai nilai
ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri), yakni keharusan untuk
menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir
tersebut, hingga membawa keyakinan yang qath’I (pazti).
2.
Hadits Ahad
Al-ahad jama’ dari ahad, menurut
bahasa berarti al wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu
berita yang disampaikan oleh satu orang[2].
Sedangkan hadits ahad menurut
istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut:
“khabar yang jumlah perawinya tidak
mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir , baik perawi itu satu,
dua,tiga,empat,lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan
“tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima
dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur”.
Ø Pembagian Hadits Ahad
a.
Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa, ialah
al-intisyar wa al-dzuyu’: sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Menurut
istilah yaitu hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak
sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan
demikian pila setelah mereka”.
b.
Hadits Ghair
Masyhur
Hadits ghair masyhur ini oleh ulama
ahli hadits digolongkan menjadi aziz dan gharib.
1.
Hadits Aziz
Aziz bisa berasal dari ‘azza-ya’izzu
yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya),
dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya(kuat). Secara istilah yaitu
hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad”.
2.
Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti
al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya).
B.
HADITS DI TINJAU DARI KUALITASNYA
1.Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz(yang diambil) dan mushaddaq(yang di benarkan atau di
terima). Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang telah sempurna padanya,syarat-syarat
penerimaan[3].
Syarat-syarat penerimaan suatu
hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya
bersambung, di riwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan
dengan matannya tidak syadz dan tidak
ber’illat.
Dalam pada itu, tidak semua hadits
maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan
kata lain, hadits maqbul ada yang ma’mulun
bih yakni hadits yang bias diamalkan
dan ada yang ghair ma’mulin bih yakni
hadits yang tidak bisa diamalkan. Yang ma;mulun bih adalah hadis muhkam, yakni hadis yang telah
memberikan pengertian jelas; mukhtalif,
yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua buah hadis atau lebih, yang
secara lahiriah mengandung pengertian bertentangan; Rajih, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis nasikh, yakni hadis yang menasakh terhadap hadis, yang datang
terlebih dahulu. Sedangkan yang ghair
ma’mulin bih adalah hadis marjuh,
yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat, mansukh, yakni hadis yang telah
dinasakh(dihapus), dan hadis mutawaquf
fih, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan
antara satu hadis boleh dengan lainnya
yang belum diselesaikan.
Dilihat dari ketentuan-ketentuan
hadis maqbul seperti diuraikan di atas, maka hadis maqbul digolongkan menjadi
dua, yaitu hadis shahih dan hasan .
2.
Hadits Mardud
Mardud
menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”. Sedangkan
mardud menurut istilah ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau
sebagian syarat hadis maqbul.
Para
ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu’ . dan pada akhirnya, pembagian hadis dilihat dari
diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis shahih, hasan, dha’if.
Menurut Ibnu Taymiyah, ulama yang
membagi hadis menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa
Al-Tirmidzi, karena ia banyak meriwayatkan hadis dan memberikan keterangan
periwayatan dengan kata, misalnya hadis “shahih
hasan gharib”.
A.
Hadits shahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata saqim[4].
Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah,
benar, sempurna sehat, pasti”. Pengertian hadis sahih secara definitif
eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-mutaqaddimin(sampai abad III). Mereka pada umumnya hanya
memberika penjelasan mengenai criteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi.
Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah”Tidak diterima periwayatan suatu
hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak diterima
periwayatan suatu hadis yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang
ditolak kesaksiannya”.
1.
Syarat-syarat
hadits sahih
·
Sanadnya
bersambung(ittishal al-sanad)
·
Perawinya adil
·
Perawinya
dhabit
·
Tidak syadz
(janggal)
·
Tidak ber-illat
(ghair mu’allal)
2.
Macam-macam
hadits sahih
Para ulama membagi hadis sahih ini
di bagi menjadi dua macam,yaitu:
a.
Shahih li dzatihi, yaitu hadis yang memenuhi
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu
syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b.
Shahih li ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi
secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sebuah hadis maqbul (a’la sifat al-qubul)
Hal itu bias terjadi karena ada beberapa
hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi
ke-dhabit—annya, ia dinilai kurang. Hadis ini menjadi sahih karena ada hadis
lainyang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
B.
Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang di senangi dan dicondongi
oleh nafsu[5].
sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikan
hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada
yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara
hadis sahih dan hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut
sejarah ulama yang mula-mula memunculkan
istilah”Hasan” bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Imam
Al-Tirmidzi.
1.
Syarat-syarat
hadits hasan
·
Sanadnya bersambung
·
Perawinya adil
·
Perawinya dhabit,
tetapi kualitas ke dhabitan nya dibawah perawi hadis sahih
·
Tidak terdapat
kejanggalan atau syadz
·
Tidak ber’illat
2.
Macam-macam hadits hasan
Para ulama ahli hadis membagi hadis
hasan menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Hadis hasan li
dzatih
Pengertian hadis hasan li dzatih,sebagaimana pengertian
diatas,yaitu hadis hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhabit meskipun tidak sempurna ,dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
Hadis hasan li dzatihi ini bias baik derajatnya menjadi hadis
shahih (li ghairihi) bila ada hadis
lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain. Sebagai contohnya
adalah hadis al-tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi
salamah dari Abi Hurairah.
b.
Hasan li
ghairihi
Secara
singkat, hasan li ghairihi ini
terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya
tidak diketahui keahlianya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka tidak
sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek
lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk ibnu
Al-shalah.
Jadi
system periwayatnnya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak
terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak
berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut
banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa(mitslahu) maupun mirip(nahwahu).
Jadi
hadis dha;if yang bias naik kedudukannya menjadi hadis hasan ini, hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah. Sementara hadis-hadis yang sangat lemah,
seperti hadis mudhu’, hadis munkar dan hadis matruk, betapapun adanya shyahid dan muttabi’ kedudukannya tetap sebagai hadis dha’if, tidak bias
berubah menjadi hadis hasan.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami susun, semoga dapat membawa manfaat bagi pemakalah
khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al
Kabir li Al Rafi’i, juz II (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978)
Suparta,Munzir.2002.Ilmu Hadits.Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Ibnu Taimiyah, Ilmu Al Hadits,(Beirut: Dar Al
Kutub Al Ilmiyyah 1989)
[1] Ahmad bin Muhammad Al
Fayyumi, Al-Mishbah Al Munir fi Gharib Al Syarh Al Kabir li Al Rafi’i, juz II
(Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah,1938H/1978),hlm.321.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar